Hargailah Masa

myFriends

M-edukasi

www.m-edukasi.web.id blog guru
Sahabat Edukasi CMS Formulasi Flag Counter

advertisement

Bantu Kami Mengembangkan Website Ini Dengan Satu Kali Klik Iklan DiBawah Ini. Terimakasih

.
.
۞Aksara Senja۞. Diberdayakan oleh Blogger.

EFEKTIVITAS METODE IQRO DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA AL-QUR’AN

Written By Unknown on Sabtu, 23 November 2013 | 19.41

Oleh: Drs. H. Mangun Budiyanto


  1. I. Pendahuluan
Sebagaimana dikatakan oleh Mahmud Yunus (1979: 34) dan Kafrawi (1978: 17) secara historis pembelajaran Al-Qur’an di Indonesia tumbuh dan tersebar beriringan dengan tersebarnya agama Islam. Sebab di mana ada umat Islam, sudah dipastikan segera diikuti oleh berdirinya masjid atau mushalla, yang disamping sebagai tempat ibadah, juga sekaligus sebagai sentral pengajian, baik pengajian anak-anak, remaja, dewasa, orangtua, maupun pengajian umum.
Khusus untuk pengajian anak-anak, umumnya diselenggarakan tiap malam hari sesudah shalat berjama’ah maghrib, dengan materi membaca              Al-Qur’an, ibadah praktis, keimanan dan akhlak. Untuk pembelajaran membaca Al-Qur’an, umumnya dipergunakan kitab “Juz ‘Amma” yang di Jawa dikenal dengan istilah “turutan” atau kaidah Baghdadiyah. Cara mengajarkannya dimulai dengan mengenalkan huruf-huruf hijaiyah, kemudian tanda-tanda bacanya dengan dieja/diurai secara pelan. Setelah menguasai barulah diajarkan membaca QS. Al-Fatehah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, dan seterusnya. Setelah selesai Juz ‘Amma, maka dimulai membaca Al-Qur’an pada mushaf, dimulai juz pertama sampai tamat.
Dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, pengajian anak-anak terus menyebar dalam jumlah besar merata di seluruh pelosok tanah air. Berkat pengajian anak-anaklah maka kemudian umat Islam, dari generasi ke generasi berikutnya, mampu membaca Al-Qur’an dan mengetahui dasar-dasar keislaman.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan iptek, sistem pengajian “tradisional” dan metode pembelajaran dengan kaidah Baghdadiyah yang demikian jadi kurang menarik. Anak-anak lebih tahan duduk berjam-jam di depan TV daripada duduk setengah jam di depan guru ngaji. Akibatnya, harus dibutuhkan waktu 2 – 5 tahun untuk bisa memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an (Mahmud Yunus, 1979: 35). Akibat lebih lanjut adalah semakin banyak terlihat anak-anak muda Islam yang tidak memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an. Hal yang demikian sungguh memprihatinkan!
Di tengah keprihatinan ini ternyata mendorong banyak ahli untuk mencari berbagai solusi pemecahannya. Maka sejak tahun 1980-an di Indonesia bermunculan ide-ide dan usaha untuk melakukan pembaruan sistem dan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an ini. Diantara tokoh pembaru yang cukup menonjol adalah KH. As’ad Humam dari Kotagede Yogyakarta.
KH. As’ad Humum bersama kawan-kawannya yang dihimpun dalam wadah Team Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Mushalla (Team Tadarus “AMM”) Yogyakarta, telah mencari bentuk baru bagi sistem pengelolaan pengajian anak-anak dan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an. Setelah melalui studi banding dan ujicoba, maka pada tanggal 21 Rajab 1408 H, bertepatan dengan tanggal 16 Maret 1988, didirikanlah Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKA) “AMM” Yogyakarta. Setahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Ramadlan 1409 H (23 April 1989) didirikan pula Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) “AMM” Yogyakarta. Antara TKA dan TPA tidaklah memiliki perbedaan dalam sistem, keduanya hanya berbeda dalam hal usia anak didiknya. TKA untuk anak usia TKA (4,0 – 6,0 tahun) sedangkan TPA, untuk anak usia SD (7,0 – 12,0 tahun). (As’ad Humam, dkk, 1995: 3-4).
Bersamaan dengan didirikannya TKA-TPA, KH. As’ad Humam tekun menulis dan menyusun buku Iqro’, Cara Cepat Belajar Membaca Al-Qur’an, yang kemudian lebih dikenal  sebagai “Metode Iqro’”. Metode ini ternyata, menurut informasi berbagai pihak, telah sanggup membawa anak-anak lebih  mudah dan lebih cepat dalam belajar membaca Al-Qur’an. Namun benarkah demikian?
Tulisan dalam makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan di atas. Sejauhmana efektivitas metode Iqro’ melalui sistem TKA-TPA ini dalam mengantarkan para anak didiknya memiliki kemampuan dalam membaca               Al-Qur’an? Jawabannya tentu diperlukan melihat dari dekat TKA-TPA “AMM” Kotagede Yogyakarta, yang merupakan sumber awal dari sistem dan metode baru ini.
  1. II. Gambaran Umum TKA-TPA “AMM”
TKA-TPA “AMM” ini terletak di Kampung Selokraman, suatu kampung di pinggiran kota Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Bantul. Selokraman ini masuk wilayah Kalurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede Yogyakarta. Di Kotagede inilah dulunya Kerajaan Islam Mataram berpusat sebelum kemudian berpindah ke tengah-tengah kota Yogyakarta yang sekarang ini.
Pada awal berdirinya (1988), TKA-TPA “AMM” ini belum memiliki gedung sendiri. Mula-mula hanya menempati beberapa ruang (salah satunya adalah ruang garasi) dari rumah milik pribadi KH. As’ad Humam. Baru kemudian pada tahun 1991 bisa membangun sebuah gedung yang memiliki 15 ruang, 4 ruang diantaranya berada di lantai 2. 11 ruang untuk kegiatan belajar (ruang kelas), 2 ruang untuk kantor, 1 ruang untuk sekretariat Team Tadarus “AMM” dan 1 ruang untuk sekretariat Team Tadarus “AMM” dan 1 ruang untuk ruang tamu. Di sebelah kiri ruang-ruang kelas terdapat kamar kecil dan halaman samping, sedang di depan gedung terdapat halaman yang cukup luas untuk bermain dan upacara.
Di samping memiliki gedung dengan 15 ruang di atas, TKA-TPA “AMM” juga didukung oleh fasilitas gedung lain yang juga dimanfaatkan untuk kegiatan, yaitu (1) gedung pertemuan berlantai 2 yang bisa menampung 500 orang, (2) Wisma “AMM” yang bisa menampung 100 orang tamu, (3) halaman Wisma “AMM” yang bisa digunakan parkir 300 kendaraan roda 2, (4) masjid yang bisa menampung 750 orang, dan (5) halaman masjid yang bisa dimanfaatkan untuk parkir 75 kendaraan roda 2.
Sebagai suatu sistem pendidikan, TKA-TPA “AMM” telah merumuskan tujuan pendidikan yang ingin dicapainya. Dalam buku kecil terbarunya (H.M. Budiyanto, dkk, 2007: 4), disebutkan bahwa tujuan pendidikannya adalah menyiapkan terbentuknya generasi qur’ani, yaitu generasi yang memiliki komitmen terhadap Al-Qur’an sebagai sumber perilaku, pijakan hidup dan rujukan segala urusannya. Hal ini ditandai dengan kecintaan yang mendalam terhadap Al-Qur’an, mampu dan rajin membacanya, terus menerus mempelajari isi kandungannya, dan memiliki kemauan yang kuat untuk mengamalkannya secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.
Demi tercapainya tujuan pendidikan yang cukup ideal ini, Team Tadarus “AMM” saat ini telah menyusun 5 jenjang pendidikan, yang masing-masing jenjang telah merumuskan target-target yang harus dicapai. Kelima jenjang itu adalah:
Masing-masing jenjang diprogramkan untuk masa 1 (satu) tahun dengan target masing-masing yang telah dirumuskan secara sistematis. Untuk TKA-TPA sebagai jenjang pertama, ada 3 target pokok yang ingin dicapai, yaitu santri mampu: (1) membaca Al-Qur’an sesuai kaidah ilmu tajwid dengan baik dan benar, (2) melakukan praktek wudlu dan shalat, (3) hafal bacaan shalat. Di samping target pokok dirumuskan pula adanya target penunjang, yaitu: (1) hafal 15 do’a sehari-hari, (2) hafal 13 surat pendek, (3) hafal 2 kelompok ayat pilihan, (4) bisa menulis ayat Al-Qur’an, (5) memiliki dasar-dasar akidah yang benar dan akhlak mulia, dan (6) membiasakan berinfak.
Untuk tahun ajaran 2008/2009 saat ini, Team Tadarus “AMM” memiliki 407 santri, dengan perincian sebagai berikut:
No Unit Putra Putri Jumlah
1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
TKA TPA
TKA Lanjutan
TPA Lanjutan
Pra TQA (Tahfidz Juz ‘Amma)
TQA (Tafhim Juz ‘Amma)
TQA (Maudlu’iyah)
TQA (Tartibiyah)
80 34
35
32
14
15
4
-
60 41
31
19
23
14
5
-
140 75
66
51
37
29
9
0

Jumlah 214 193 407
Dari jumlah 407 anak tersebut, saat ini diasuh oleh 34 orang guru, yang terdiri dari 8 orang guru laki-laki (ustadz) dan 26 orang guru perempuan (ustadzah). 25 orang guru (73,50%) berusia antara 21-30 tahun, sedang pendidikan mereka mayoritas (21 orang = 63%) berpendidikan Sarjana (S1).
Khusus untuk santri TKA-TPA, sebagaimana terlihat pada tabel di atas, saat ini berjumlah 215 anak, yang terdiri dari 140 anak santri TKA, sedang santri TPA-nya sebanyak 75 anak. Mereka masuk tiap hari (selain Jum’at) yang terbagi dalam 2 shif. Shif pertama masuk jam 14.30-15.30 dan dilanjutkan shalat ashar berjama’ah, sedang shif kedua masuk jam 16.00-17.00 dan sebelumnya diawali dengan shalat berjama’ah ashar. Pembagian shif ini dilakukan atas pertimbangan keterbatasan ruang dan ustadz.
Sedang waktu yang 60 menit tiap hari masuk itu digunakan:
Durasi (menit) Keterangan
a. 05 : Pembukaan (persiapan, salam, do’a dan presensi)
b. 15 : Klassikal I (bacaan sholat, etika dan do’a sehari-hari, surat-surat pendek dan ayat pilihan)
c. 25 : Privat (proses pembelajaran baca Al-Qur’an dengan buku Iqro’ dan menulis)
d. 10 : Klassikal II (hadits/mahfudzot tentang akidah akhlak yang disampaikan dengan BCM)
e. 05 : Penutup (do’a, baca ikrar, pesan-pesan dan berinfak)
Catatan: Untuk praktek wudlu dan sholat berjamaah dilaksanakan
di luar jam pelajaran
Dan bila dibuat struktur kurikulum TKA-TPA tiap minggunya, maka akan terlihat sebagai berikut:
No Mata Pelajaran Smt I Smt II Jml
1. Pembelajaran Iqro’/tadarus Al-Qur’an secara privat dan menulis 6 6 12
2. Bacaan sholat dan surat-surat pendek 4 4 8
3. Etika dan do’a sehari-hari 3 3 6
4. Ayat-ayat pilihan 2 2 4
5. Hadits/mahfudzot tentang akidah akhlak (BCM) 3 3 6
6. Praktek wudlu, sholat (berjamaah) dan berinfak 5 5 10

Jumlah 23 23 46


  1. III. Metode Pembelajaran Membaca Al-Qur’an
Dari uraian di atas sudah terlihat bahwa pembelajaran membaca               Al-Qur’an diberikan di jenjang TKA-TPA dengan sistem privat. Baik TKA maupun TPA, santri dikelompokkan dalam kelas-kelas, setiap kelas antara 15-25 anak, ada seorang wali kelas dan dibantu oleh beberapa orang ustadz/ ustadzah privat. Jumlah ustadz privat tiap kelas disesuaikan dengan jumlah santri dalam kelas tersebut, dengan perbandingan tiap 6 santri diperlukan 1 ustadz/ustadzah. Sebagai panduan (buku pegangan) dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an adalah buku Iqro’ yang terdiri dari jilid 1-6.
Masing-masing ustadz mengajar para santri secara bergantian satu persatu dengan prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), maksudnya santrilah yang aktif membaca lembaran-lembaran buku Iqro’ yang telah disusun secara sistematis dan praktis, sedangkan ustadz hanya menerangkan pokok-pokok pelajarannya dan menyimak (memperhatikan) bacaan santri satu persatu. Karena sifatnya yang individual, maka tingkat kemampuan dan hasil yang dicapai oleh masing-masing santri dalam satu kelas tidaklah sama.
Cara mengajarkan buku Iqro’ haruslah disesuaikan dengan petunjuk pengajaran yang telah digariskan oleh KH. As’ad Humam sebagai penyusun buku Iqro’. Ada 14 hal penting sebagai “Kunci Sukses Pengajaran Buku Iqro” (As’ad Humam, dkk, 2001: 97-98), yaitu:
  1. CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), guru menerangkan pokok bahasan, setelah itu santri aktif membaca sendiri, guru sebagai penyimak saja, jangan sampai menuntun, kecuali hanya memberikan contoh saja.
  2. Privat. Penyimakan seorang demi seorang secara bergantian. Bila klasikal (di sekolah formal atau di TPA yang kekurangan guru) menggunakan IQRO’ Klasikal yang dilengkapi dengan alat peraga IQRO’ Klasikal.
  3. Asistensi. Santri yang lebih tinggi pelajarannya dapat membantu menyimak santri lain.
  4. Mengenai judul-judul, guru langsung memberi contoh bacaannya, jadi tidak perlu banyak penjelasan. Santri tidak dikenalkan istilah fathah, tanwin, sukun dan seterusnya. Yang penting santri betul bacaannya.
  5. Komunikatif. Setiap huruf/kata dibaca betul, guru jangan diam saja, tetapi agar memberikan perhatian/sanjungan/penghargaan. Umpamanya dengan kata-kata: Bagus, Betul, Ya, dan sebagainya.
  6. Sekali huruf dibaca betul jangan diulang lagi.
  7. Bila santri keliru baca huruf, cukup betulkan huuf-huruf yang keliru saja dengan cara:
-          Isyarah, umpamanya dengan kata-kata “Eee, awas, stop” dan lain sebagainya
-          Bila dengan isyarah masih tetap keliru, berilah titian ingatan
-          Bila masih lupa, barulah ditunjukkan bacaan yang sebenarnya
-          Bila santri keliru baca di tengah/di akhir kalimat, maka betulkanlah yang keliru itu saja, membacanya tidak perlu diulang dari awal kalimat. Nah setelah selesai sehalaman, agar mengulang pada kalimat yang ada kekeliruan tersebut.
  1. Bagi santri yang betul-betul menguasai pelajaran dan sekiranya mampu dipacu, maka membacanya boleh diloncat-loncatkan, tidak perlu utuh tiap halaman.
  2. Bila santri sering memanjangkan bacaan (yang semestinya pendek) karena mungkin sambil mengingat-ingat huruf di depannya, maka tegurlah dengan “Membacanya putus-putus saja!” dan kalau perlu huruf didepannya ditutup dulu agar tidak berpikir.
  3. Santri jangan diajari dengan irama yang berlagu walaupun dengan irama tartil, sebab akan membebani santri yang belum saatnya diajarkan membaca irama tertentu. Sedangkan irama bacaan tartil dalam kaset yang dikeluarkan Team Tadarus “AMM” dimaksud untuk pengajaran MATERI HAFALAN dan ketika sudah bertadarus Al-Qur’an. Jadi tidak untuk pengajaran buku IQRO’.
  4. Bila ada santri yang sama tingkat pelajarannya, boleh dengan sistem tadarus, secara bergilir membaca sekitar 2 baris sedang lainnya menyimak.
  5. Untuk EBTA sebaiknya ditentukan ditunjuk guru penguji khusus supaya standarnya tetap dan sama.
  6. Pengajaan buku IQRO’ (jilid 1 s/d 6) sudah dengan pelajaran tajwid yaitu tajwid praktis, artinya santri akan bisa membaca dengan benar sesuai dengan ilmu tajwid. Sedangkan ilmu tajwid itu sendiri (seperti istilah idghom, ikhfa’, macam-macam mad, sifat-sifat huruf dan sebagainya) diajarkan setelah lancar tadarus  Al-Qur’an beberapa juz.
  7. Syarat kesuksesan, disamping menguasai/menghayati petunjuk mengajar, mesti saja guru fasih dan tartil mengajarnya.
  1. IV. Efektivitas Metode Pembelajaran Iqro’
Telah disebutkan diatas bahwa pembelajaran membaca Al-Qur’an di TKA-TPA “AMM” ini sepenuhnya menggunakan buku Iqro’ lengkap dengan metodologi yang telah digariskan oleh penyusunnya, serta penerapannya dibimbing dan diawasi oleh Pengurus Team Tadarus “AMM”. Pertanyaan berikutnya adalah sejauhmana efektivitasnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan penelitian untuk mengetahui kecepatan para santri dalam menyelesaikan buku Iqro’ jilid 1 s/d 6 di TKA-TPA “AMM” ini. Jilid 1 adalah merupakan awal seorang santri memulai belajar membaca Al-Qur’an, sedang jilid 6 adalah sebagai tanda seorang santri telah mampu membaca Al-Qur’an.
Saat penelitian ini dilakukan, Maret 2009 TKA-TPA “AMM” baru saja melaksanakan pembagian rapor semester gasal tahun pembelajaran 2008-2009. Semester gasal berlangsung selama 6 bulan, yaitu sejak tanggal 15 September 2008 s/d 15 Februari 2009. Pertanyaannya adalah bagaimana kondisi kemampuan para santri dalam membaca Iqro’ setelah mereka belajar selama 1 (satu) semester ini? Jawaban pertanyaan ini tentu harus melihat pada TKA-TPA. Karena TKA-TPA adalah jenjang pertama (jenjang Iqro’). (Wawancara dengan Muakhiroh, S.Pd.I., Direktur TKA-TPA “AMM”, Senin, 23 Maret 2009)


Klasifikasi Kemampuan Membaca Iqro’
Santri TKA-TPA “AMM” (setelah 6 bulan belajar)
No Tingkatan Jilid TKA N=140 % TPA N=75 % Jumlah N=215 %
1. Jilid 1 10 7,14 % 1 1,33 % 11 5,12 %
2. Jilid 2 20 14,28 % 5 6,67 % 25 11,63 %
3. Jilid 3 40 28,57 % 16 21,33 % 56 26,05 %
4. Jilid 4 37 26,43 % 22 29,34 % 59 27,44 %
5. Jilid 5 11 7,86 % 13 17,33 % 24 11,16 %
6. Jilid 6 17 12,14 % 13 17,33 % 30 13,95 %
7. Al-Qur’an 5 3,58 % 5 6,67 % 10 4,65 %

Jumlah 140 100 % 75 100 % 221 100 %
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dalam waktu 6 bulan, pencapaian kemampuan membaca Iqro’ untuk santri TKA dengan TPA berbeda. Dari 140 santri TKA, yang telah menyelesaikan Iqro’ 1-3 ternyata hanya separohnya, yaitu ada 70 anak (50 %) dan yang 70 anak (50 %) masih berada pada Iqro’: 1-3. Dengan demikian, bisa diprediksikan bahwa untuk TKA, target 1 (satu) tahun telah mampu membaca Al-Qur’an tidak akan tercapai. Artinya, untuk TKA diprediksikan masih diperlukan tambahan waktu untuk menuntaskan 140 santri (100 %) memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an. Namun demikian, ternyata telah terdapat 5 anak (3,58 %) yang telah mengkhatamkan Iqro’: 1-6 dan akan segera disusul oleh 17 anak (12,14 %) yang sekarang sudah memasuki Iqro’: 6.
Sedang untuk TPA, dari 75 santri yang ada, dalam waktu 6 bulan mayoritas dari mereka (53 anak = 70,66 %) telah bisa menyelesaikan buku Iqro’: 1-3 dan hanya 22 anak (29,34 %) yang belum bisa memasuki Iqro’: 4. Ini berarti, mayoritas santri TPA akan bisa menyelesaikan buku Iqro’: 1-6 dalam waktu 1 (satu) tahun, sesuai dengan target yang ditentukan. Bahkan terdapat 5 anak           (6,67 %) yang telah mengkhatamkan Iqro’: 1-6 dan akan segera disusul oleh 13 anak (17,33 %) yang sekarang sudah memasuki Iqro’: 6. Dengan perkataan lain untuk anak usia SD, dengan sistem TPA dan metode Iqro’, akan bisa diantarkan memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an dalam waktu 6-12 bulan.
Yang menarik dari data di atas, ternyata masih ada 10 anak (7,14 %) TKA dan 1 (satu) anak (1,33 %) TPA yang belum beranjak dari Iqro’: 1. Mengapa hal ini bisa terjadi? Setelah ditelusuri pada daftar absensi, ternyata ke 11 anak ini sehari-hari memang tidak begitu aktif mengikuti pelajaran. Dari ke 11 anak ini kehadirannya tidak ada yang lebih dari 50 %. Sehingga wajar kalau mereka tertinggal.
Di atas telah dipaparkan kondisi setelah 6 bulan santri belajar Iqro’ di TKA-TPA dan belum memberikan gambaran kecepatan santri TKA-TPA dalam menyelesaikan Iqro’: 1-6. Untuk mengetahui hal ini, perlu melihat kembali dokumentasi yang ada pada santri yang sekarang duduk di TKAL-TPAL. Berapa bulan sebenarnya, waktu yang harus mereka habiskan untuk bisa menyelesaikan Iqro’: 1-6 pada saat mereka duduk di TKA-TPA setahun yang lalu?
Jumlah santri TKAL sekarang ini ada 66 anak, yang terdiri dari 35 santri putra dan 31 santri putri. Sedang jumlah santari TPAL sekarang ini ada 51 anak, yang terdiri dari 32 santri putra dan 19 santri putri. Sehingga jumlah santri TKAL-TPAL keseluruhannya ada 117 santri.
Setelah melihat kembali dokumentasi kecepatan 117 santri dalam menyelesaikan buku Iqro’: 1-6 dapat dibuat tabel sebagai berikut:
Kecepatan Santri TKA-TPA Tahun 2007/2008
dalam Menyelesaikan Iqro’: 1-6
No Tingkatan Jilid TKAL N=66 % TPAL N=51 % Jumlah N=117 %
1. 1 – 2 bl 0 0 % 0 0 % 0 0 %
2. 3 – 4 bl 0 0 % 0 0 % 0 0 %
3. 5 – 6 bl 4 6,06 % 6 11,76 % 10 8,55 %
4. 7 – 8 bl 7 10,60 % 7 13,73 % 14 11,97 %
5. 9 – 10 bl 11 16,67 % 12 23,53 % 23 19,66 %
6. 11 – 12 bl 14 21,21 % 18 35,30 % 32 27,35 %
7. 13 – 14 bl 13 19,70 % 4 7,84 % 17 14,53 %
8. 15 – 16 bl 4 6,06 % 1 1,96 % 5 4,28 %
9. 17 – 18 bl 7 10,60 % 0 0 % 7 5,98 %
10. 19 – 20 bl 2 3,03 % 0 0 % 2 1,71 %
11. 21 – 22 bl 0 0 % 1 1,96 % 1 0,85 %
12. 23 – 24 bl 1 1,52 % 2 3,92 % 3 2,56 %
13. Lebih 24 bl 3 4,55 % 0 0 % 3 2,56 %

Jumlah 66 100 % 51 100 % 117 100 %
(Diolah dari dokumentasi “Kartu Prestasi Iqro” tahun 2007/2008, dikutip, Senin, 23 Maret 2009)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa:
  1. Walaupun awal mulainya dalam waktu yang sama, namun ternyata dalam menyelesaikan buku Iqro’nya, bisa sangat bervariasi. Ada yang bisa menyelesaikan dalam waktu kurang dari 6 bulan (1 semester), namun ada yang lebih dari 24 bulan (4 semester). Hal ini sangat dimungkinkan, karena TKA-TPA dalam mengajarkan Iqro menggunakan sistem privat (sorogan). Sehingga santri yang cerdas dan rajin masuk akan lebih cepat selesai dan tidak menunggu santri yang kurang cerdas dan kurang rajin masuk.
  2. Dengan sistem TKA-TPA dan metode Iqro’ ternyata memungkinkan seorang santri lebih cepat mampu membaca Al-Qur’an. Terbukti dalam waktu tidak lebih dari 6 bulan, sudah terdapat 10 anak dari 117 anak (8,55 %) yang telah memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an. 10 anak tersebut, 4 anak diantaranya masih usia TK sedang yang 6 anak berusia SD Kelas 1-3.
  3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara anak usia TK (4,0 – 6,0 tahun) dan anak usia SD (7,0 – 9,0 tahun) dalam kecepatan menyelesaikan buku Iqro’. Melalui TK Al-Qur’an, dalam waktu 12 bulan baru terdapat 36 anak dari 66 anak (54,55 %) yang mampu menyelesaikan Iqro’ : 1-6, dan dibutuhkan waktu 18 bulan (3 semester) untuk bisa mencapai angka 89,39 % (59 anak dari 66 anak). Bahkan harus dibutuhkan waktu lebih dari 2 tahun untuk bisa menuntaskan seluruh anak usia TK tersebut bisa menyelesaikan Iqro’: 1-6. Hal ini bisa dimengerti karena memang mereka masih usia TK, suatu usia yang oleh banyak pihak diragukan kemampuannya untuk diajar membaca.
  4. Berbeda dengan anak usia TK, anak usia SD ternyata lebih cepat dalam menyelesaikan Iqro’. Dalam waktu 6 bulan, tercatat ada 6 anak dari 51 anak (11,76 %) yang telah bisa menyelesaikan Iqro’: 1-6. Kemudian dalam waktu 12 bulan, mayoritas dari mereka (43 dari 51 anak/84,31 %) telah mampu menyelesaikan Iqro’: 1-6. Sedangkan untuk anak usia TK, dalam waktu yang sama hanya mencapai angka 54,55 %.
Dari uraian di atas dapat diketahui efektivitas metode Iqro’ melalui sistem TKA-TPA. Bagi anak usia TK (4,0 – 6,0 tahun), terbukti mampu diantarkan memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an dalam waktu antara 6,0 – 18,0 bulan (89,39 %), sedang bagi anak usia SD (7,0 – 9,0 tahun) bisa lebih cepat lagi, yaitu dalam waktu antara 6,0 – 12,0 bulan (84 %). Waktu yang relatif cepat bila dibandingkan dengan metode (kaidah) Baghdadiyah melalui sistem pengajian tradisional, yang memerlukan waktu antara 2 – 5 tahun. (Mahmud Yunus, 1979: 35)
  1. V. Hambatan Yang Dihadapi
Hasil prestasi di atas, mestinya bisa lebih ditingkatkan lagi andaikan tidak terhambat oleh 2 faktor utama, yaitu:
  1. Rendahnya prosentase kehadiran para santri. Hal ini bisa dilihat pada daftar presensi yang menunjukkan bahwa prosentase rata-rata kehadiran para santri sangat rendah. Padahal keaktifan kehadiran sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan suatu pendidikan. Betapapun baiknya seorang ustadz dan betapapun canggihnya suatu metode, kalau muridnya jarang hadir tentu hasilnya tidak akan optimal. Berikut ini disajikan tabel prosentase rata-rata kehadiran santri selama 1 (satu) semester yang lalu (September 2008 s/d Pebruari 2009).
Prosentase Rata-rata Kehadiran Santri
No Unit Sept (%) Oktt (%) Nop (%) Des (%) Jan (%) Peb (%) Komulatif 1 smt (%)
1. TKA 78 72 69 66 68 63 69,33
2. TPA 87 67 65 65 63 64 68,50

Jumlah Rata-rata 82,5 69,5 67,0 65,5 65,5 63,5 68,91
(Diolah dari Dokumentasi Daftar Presensi Kehadiran Santri TKA-TPA “AMM” Semester Gasal Tahun 2008/2009, dikutip Senin, 30 Maret 2009)
Tabel di atas menunjukkan bahwa dalam semester yang lalu (September 2008 s/d Pebruari 2009) keaktifan kehadiran santri TKA-TPA “AMM” hanya mencapai angka 68,91 %. Sebab ketidakhadiran yang paling utama adalah adanya berbarengan kegiatan di SD-nya, seperti pramuka, pelajaran tambahan, dan lain-lain. (Wawancara dengan Muakhiroh, S.Pd.I., Direktur TKA-TPA “AMM”, Senin, 23 Maret 2009). Para ustadz nampaknya tidak bisa “memaksa” agar para santri lebih mengutamakan TKA-TPA daripada kegiatan SD-nya.
  1. Kesulitan mencari ustadz/ustadzah yang fasih membaca Al-Qur’annya sekaligus memiliki kualifikasi akademik dibidang keguruan. (Wawancara dengan M. Najib, Pengurus Yayasan Team Tadarus “AMM” Yogyakarta, Ahad, 29 Maret 2009). Dari 34 orang ustadz/ustadzah yang ada, yang memiliki ijazah keguruan hanya ada 10 orang (29,41 %), dan itupun tidak ada yang memiliki ijazah keguruan dibidang pendidikan Al-Qur’an. Bahkan tercatat ada 11 orang ustadz/ustadzah (32,35 %) yang memiliki latar belakang pendidikan “non keagamaan”, seperti Sastra Jawa, Ekonomi, Ilmu Politik, Biologi, Pertanian, Tata Busana dan Listrik. Hal ini tentu berakibat kurang optimalnya hasil yang dicapai.
  1. VI. Penutup
Dari uraian di atas telah tergambar dengan jelas tingkat efektivitas metode Iqro’ dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an di TKA-TPA “AMM” Kotagede Yogyakarta. Bagi anak usia TK (4,0 – 6,0 tahun) dalam waktu 6 – 18 bulan sudah mencapai angka 89,9% yang bisa diantarkan memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an. Sedang untuk anak usia SD (mayoritas usia 7,0 – 9,0 tahun) ternyata lebih cepat lagi. Dalam waktu 12 bulan, mayoritas dari mereka (84,31%) telah lancar membaca al-Qur’an. Waktu yang relatif cepat bila dibandingkan dengan metode (kaidah) Baghdadiyah melalui sistem pengajian “tradisional” yang memerlukan waktu 2 – 5 tahun.

19.41 | 0 komentar | Read More

K.H. As’ad Humam "Bapak Penemu Metode Iqro"



Aku yakin mayoritas rakyat di seluruh Indonesia yang pernah menjadi seorang muslim, apalagi masih muslim sejak lahir hingga sekarang mengenal Iqro’. Dan aku juga yakin kita semua tidak terlalu asing dengan seorang tokoh bernama K.H. As’ad Humam, penemu metode Iqro’.
Melalui metode Iqro’ itulah aku belajar membaca tulisan arab Dan al Quran hingga akhirnya bisa membaca Al Quran sampai sekarang. Aku pun yakin kamu juga bisa membaca Al Quran seperti sekarang ini juga menggunakan media belajar buku Iqro’. Sungguh betapa besar amal jariyah K.H. As’ad Humam yang melalui buku metode penemuannya jutaan umat di Indonesia akhirnya bisa membaca Al Quran. Secara tidak langsung, beliau memiliki murid jutaan -salah satunya aku Dan kamu- yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia bahkan hingga ke Malaysia Dan Singapura sehingga memperoleh kebaikan serta barokah atas ilmu yang beliau ajarkan kepada kita semua. Memang benar sabda Rasulullah SAW bahwa ilmu yang bermanfaat bakal menjadikan si-empunya ilmu memperoleh kebaikan yang terus menerus seperti air yang mengalir tak pernah kering. Ini pula lah yang dapat dirasakan atas apa yang telah diwariskan K.H. As’ad Humam.
Tak banyak orang yang mengenal K.H. As’ad Humam memang. K.H. As’ad Humam lahir pada tahun 1933. Beliau mengalami cacat fisik sejak remaja. Beliau juga bukan seorang akademisi atau kalangan terdidik lulusan Pesantren atau Sekolah Tinggi Islam, beliau hanya lulusan kelas 2 Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta (Setingkat SMP).

Dalam kurun waktu 14 tahun  tidak terasa telah terlewati untuk mengingat kembali bapak penemu metoda praktis membaca Al-Qur’an. Dimana karya besanya tidak hanya menjadi aset nasional, malah menjadi asset  negara-negara jiran, bahkan sampai ke Eropa dan belahan dunia lainnya.
Karya yang fenomenal itu tentu menjadi cambuk bagi generasi Qur’ani, khususnya para Sarjana praktisi Ilmu Al-Qur’an dan para da’i/ustadz serta  intelektual muslim, apalagi para “petualang politik Islam”  yang terkadang lebih suka mencari identitas Islam secara tematik belaka dengan tujuan komersial. Seberapa besar kita telah memeberikan konstribusi terhadap bangsa khususnya lingkungan masyaakat tempat tinggal kita dalam meningkatkan pemberdayaan anak dan cucu di masa sekarang dan di masa yan akan datang dalam hal membaca Al-Qur’an?
Tentu dimulai dari yang sederhana, berantas  dulu buta huruf Al-Qur’an. Dimana anak secara gradual bisa membaca Al-Qur’an dengan fasikh dan mengenal huruf serta barisnya. Lalu ditingkatkan pada kemampuan menerjemahkan kata perkata dan ayat perayat. Setelah itu baru ke penguasaan tafsir untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada kelebihan dan kekurangan dari metode Iqro karya besa KH. As’ad Humam. Kelebihannya, anak setelah belajar dengan metode Iqro  dapat lebh cepat membaca lafadz perlafadz, lalu ayat per ayat. Namun ada PR bagi para ustadz/ustadza,  bagaimana meminimalisir tingkat verbalistik anak (ia cakap membaca, namun masih banyak yang  tidak mengenal huruf)?
Demikian juga menjadi PR bagi para ulama dan intelek muslim, masih banyak pula umat yang begitu semangat menukil ayat-ayat tertentu untuk memback-upi kepentingannya, padahal bacaan dia masih blepotan, sedangkan retorika membahas suatu masalah begitu latah dengan dasar ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya kutipan-kutipan kecil bahkan hanya berupa terjemah.
Sosok
Pria yang lahir tahun 1933 yang cacat fisik sejak remaja ini ternyata  sebagai penemu Metode Iqro yang menghebohkan banyak kalangan. Banyak para penguji  mencoba  mengadakan pengujian terhadap keakuratan  metode ini. Ternyata karena selain sererhana dengan metode iqro sangat mudah mempelajari Al-Qur’an.
Bagi kebanyakan umat Islam Indonesia, nama K.H. As’ad Humam sudah tidak asing lagi karena karyanya berupa metode praktis membaca Al-Qur’an serta lembaga pendidikan TKA (Taman Kanak-kanak Alqur’an) dan TPA (Taman Pendidikan AlQur’an) telah menyebar keseluruh Indonesia, ke Malaysia dan mancanegara lainnya. Bahkan di Malaysia metode Iqro ditetapkan sebagai kurikulum wajib di sekolah.
Sebelum K.H. As’ad Humam meluncurkan metode Iqro’ memang sudah ada metode membaca Al-Qur’an yang dimanfaatkan oleh umat islam Indonesia antara lain dalam metode Juz Amma, methode  Al-Banjary, methode Al-Barqy dan banyak methode lainnya.  K.H. As’ad Humam dalam menyusun karyanya ini juga berdasarkan metode yang saudah ada sebelumnya. Tetapi begitu metode Iqro  muncul, sekitar tahun 1988 langsung mendapat sambutan hangat masyarakat. Sebab metode yang digunakan juga praktis dan membuat anak kecil bisa cepat menbaca Al-Qur’an dengan fasih dan tartil, padahal sebelumnya anak-anak seusia TK umumnya belum bisa membaca Al-Qur’an.

Metode Iqro -Go Publik
Dari waktu kewaktu metode Iqro semakin memasyarakat. Bukan saja masyarakat sekitar yang memanfaatkannya, tetapi merembet masyarakat pelosok di DIY, berbagai daerah di luar YID, bahkan akhirnya merembet ke seluruh Indonesia. Yang mempermudah persebaran metode ini antara lain karena keihklasan K.H. As’ad Humam dan para anak buahnya di sekretariat Team Tadarus AMM Kota Gede, yang merupakan markas dan cikal bakal TKA/TPA sebagai realisasi pengajaran metode Iqro terhadap masyarakat yang datang dan ingin memanfaatkan  metode ini.
“Siapa yang ingin memanfaatkan metode ini kita layani dengan baik sebelumnya mereka kita jelaskan atau istilah menterengnya kita tatar, mengenai penggunaan metode ini sekaligus mengenai manajemen yang harus diperhatiakn dalam pengelolaan TKA/TPA. Setelah peneataran kita anggap cukup, orang yang datang kita beri buku Irqo  untuk diamalkan didaerahnya  kata K.H. As’ad Humam kepada Panjimas pada suatu saat sambil menambahkan yang datang kesini untuk turut mengembangkan metodenya di seliruh Indonesia, termasuh mahasiswa.
Tak mengherankan kalu metode iqro berkembang pesat. Sampai saat ini (data penulis tahun 2007) tercatat 30 ribu TKA/ TPA. Dengan santri mencapai 6 juta lebih menerapkan metode ini. Bulan Juli tahun  1995  Presiden Soeharto mewisuda ribuan santri TKA/TPA. Wakil persiden juga melakukan hal yang serupa di Yogya dalam berbagai even misalnya MTQ juga acap menampilkan santri TKA yang mendemonstrasikan kemampuan mereka membaca Al-Qur’an.
Metode Iqro memang sudah diakui dan dimanfaatkan banyak orang. Pemerintah sendiri juga telah menganugrahkan  penghargaan kepada K.H. As’ad Humam atas hasil karyanya ini. Tahun 1991 Mentri Agama RI (waktu H Munawir Sjadzali MA. Menjadikan TKA /TPA yang didiriakn K.H. As’ad Humam di kampung Selokraman Kotagede Yogya sebagai balaii litbang LPTQ Nasional, yang berfungsi sebagai Balai Latihan dan pengembangan dan lembaga pengembangan Tilawatil Qur’an.
Mengenang Sejarah
Meski K.H. As’ad Humam sudah tiada namun karya nyata dan hasil rintisannya masih ada. Sampai kapanpun diharapkan  tetep langgeng abadi, bahkan semakin berkemban. Seoga ini merupakan salahsatu amal jariyahnya  yang buaknya akan dipetik diakhir nanti.
Pada awal Februari  tahun 1996 dalam usia 63 tahun  sang penemu metode ini  K.H. As’ad Humam  telah dipanggil Allah SWT. Dan menghembuskan nafas terakhirnya  di Bulan Suci Ramadhan hari Jum’at(2/2) sekitar Pukul 11:30 memang, dimana sejak 14 Desember tahun l1995  ia  telah sakit dan pernah diopname di Rumahsakit Muhammadiyah Yogyakarta sekitar 2 bulan.  Jenazah KH. As’ad Humam dishalatkan di mesjid Baiturahman Selokraman Kota Gede Yogya tempat ia mengabdi.
Pada saat pelepasan menuju tempat peristirahatan terakhir jenazah bapak 6 anak dan kakek 10 benar-benar dikenang masyarakat luas baik masyarakat Indonesia maupun mancanegara.
Hal ini terbukti pada sambutan Menteri Agama RI yang saat itu Dr. H. Tarmizi Taher  yang dibacakan Kakanwil Daerah Istimewa Yogyakarta Muhda Hadisaputro SH pada  saat upacara pemakaman. Ia menjelaskan dalam pidatonya bahwa  Hasil karya K.H. As’ad Humam benar-benar sudah go internasional. Lebih lanjut oleh Menag  RI dijelaskan Metode Iqro selain sudah diterapkan di beberapa negara tetangga, semacam Malaysia, Singapura dan Brunai Darusalam.juga sudah diterjemaahkan kedalam berbagai bahasa, bahkan dilakukan penjagaan penggunaannya oleh kalangan muslimin di Amerika Serikat.
Menurut Meneg, K.H. As’ad Humam yang hanya lulusan kelas 2 MadrasahMualimin Muhammadiyah Yogyakarta (Setinggi SMP)  ini juga bisa disebut “pahlawan”, yakni pahlawan penjaga kelestarian Al-Qur’an dan pahlawan yang telah membebaskan jutaan anak Indonesia dari buta Al-Qur’an. “Berkat hasil karyanya ini jutaan anak muslim Indonesia dengan mudah mempelajari Al-Qur;an.
Oleh karenanya, bapak penemu metode baca Al-Qur’an yang cukup cemerlang ini, mari kita kirimi do’a semoga mendapatkan Jannatun Naim, dan karyanya bermanfaat sepanjang masa. Bibarkati Ummul Qur’an “Alfaatihah”…

sumber
19.39 | 0 komentar | Read More

METODE PEMBELAJARAN MELALUI INTERNET

Written By Unknown on Senin, 22 Juli 2013 | 22.01

image_thumb%25255B1%25255D
Pembelajaran berbasis internet bagi siswa sekolah dasar sudah seharusnya mulai dikenalkan. Untuk itu para guru hendaknya sudah tahu lebih dahulu tentang dunia internet sebelum menerapkan pembelajaran tersebut pada siswa. Persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu sarana komputer. Tentu saja dalam hal ini hanya dapat diterapkan di sekolah-sekolah yang mempunyai fasilitas komputer yang memadai. Walaupun sebenarnya dapat juga diusahakan oleh sekolah yang tidak mempunyai fasilitas komputer misalnya dengan mendatangi warnet sebagai patner dalam pembelajaran tersebut. Setelah semua perangkat untuk pembelajaran siap, guru mulai melakukan pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar internet. Bagi siswa sekolah dasar tentu saja akses-akses yang ringan yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Disinilah kepiawaian seorang guru ditampilkan dalam mendampingi, membimbing dan mengolah metode pembelajaran agar tujuan pembelajaran yang diharapkan tercapai. Beberapa metode yang dapat dilakukan oleh guru, diantaranya: diskusi, demonstrasi, problem solving, inkuiri, dan descoveri. Guru memberikan topik tertentu pada siswa, kemudian siswa mencari hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut dengan mencari (down load) dari internet. Guru juga dapat memberikan tugas-tugas ringan yang mengharuskan siswa mengakses dari internet, suatu misal dalam pembelajaran Bahasa Indonesia siswa dapat mencari karya puisi atau cerpen dari internet. Siswa juga dapat belajar dari internet tentang hal-hal yang up to date yang berkaitan dengan pengetahuan. Guru memberi tugas pada siswa untuk mencari suatu peristiwa muthakir dari internet kemudian mendiskusikannya di kelas, lalu siswa menyusun laporan dari hasil diskusi tersebut. Metode-metode tersebut dapat dilakukan guru dengan model-model pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa semakin senang, tertarik untuk mempelajarinya sehingga proses pembelajaran tersebut menjadi pembelajaran yang bermakna. Dengan pembelajaran berbasis internet diharapkan siswa akan terbiasa berpikir kritis dan mendorong siswa untuk menjadi pembelajar otodidak. Siswa juga akan terbiasa mencari berbagai informasi dari berbagai sumber untuk belajar. Pembelajaran ini juga mendidik siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam kelompok kecil maupun tim. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu dengan pembelajaran berbasis internet pengetahuan dan wawasan siswa berkembang, mampu meningkatkan hasil belajar siswa, dengan demikian mutu pendidikan juga akan meningkat.
22.01 | 0 komentar | Read More

PENGERTIAN SUMBER BELAJAR

Dalam kawasan teknologi instruksional, sumber belajar pada dasarnya merupakan komponen teknologi instruksional, yang disebut dengan istilah “Komponen Sistem Instruksional”. Teknologi instruksional adalah proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar-mengajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi instruksional, pemecahan masalah itu berupa komponen sistem instruksional yang telah disusun terlebih dahulu dalam proses desain atau pemilihan dan pemanfaatan, dan disatukan ke dalam sistem instruksional yang lengkap, untuk mewujudkan proses belajar yang terkontrol dan berarah tujuan, yang komponennya meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar.
image_thumb
 Yang termasuk sumber belajar adalah berbagai informasi, data-data ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan manusia, baik dalam bentuk bahan-bahan tercetak (misalnya buku, brosur, pamlet, majalah, dan lain-lain) maupun dalam bentuk non cetak (misalnya film, filmstrip, kaset, videocassette, dan lain-lain). AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan dengan dengan cara yaitu dilihat dari keberadaan sumber belajar yang direncanakan dan dimanfaatkan. Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal. Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasi, dan digunakan untuk keperluan belajar. Berdasarkan konsep-konsep di atas, sumber belajar pada dasarnya merupakan komponen sistem instruksional yang meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar (lingkungan). Dalam makalah ini titik berat sumber belajar yang dikaji adalah internet. Sedang orang, bahan, peralatan dan teknik merupakan sumber belajar pendukung.
22.00 | 0 komentar | Read More

BELAJAR DAN MENGAJARa

1. Belajar 
Robert M. Gagne dalam buku: the conditioning of learning mengemukakan bahwa: Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan karena proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalm diri dan keduanya saling berinteraksi. 
image_thumb
Drs. Slameto ( Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya. 

2. Mengajar 
Mengajar sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan belajar. Tujuan mengajar adalah "membelajarkan siswa". Berarti meningkatkan kemampuan siswa untuk memproses, menemukan, dan menggunakan infrmasi bagi pengembangan dirinya dalam konteks lingkungannya.
21.58 | 0 komentar | Read More

PRINSIP PRINSIP BELAJAR

Berikut ini disajikan sepuluh prinsip belajar yang semestinya diketahui oleh seorang trainer dan juga mesti disadari oleh seseorang yang ingin belajar lebih efektif. Item-item berikut disarikan dari buku “The Trainer’s Handbook, Mitchell, 1987“: 
1. Mempelajari apa yang siap untuk dipelajari 
2. Kita pelajari yang terbaik dari apa yang pernah kita lakukan 
3. Kita belajar dari Kesalahan 
4. Kita belajar lebih mudah terhadap sesuatu yang kita kenal 
5. Kita menyukai adanya perbedaan sense dalam belajar 
6. Kita belajar secara metodik dan sistematik 
7. Kita tidak dapat mempelajari sesuatu yang tidak dimengerti 
8. Kita belajar melalui latihan 
9. Kita belajar lebih baik ketika kita mengetahui kemajuan kita 10. Kita menanggapi dengan lebih baik ketika apa yang kita pelajari disajikan secara unik terhadap setiap orang 
image_thumb
Rogers : Dalam bukunya Freedom to Learn , ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya ialah : 
1. Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami. 
2. Belajar yang signifikan terjadi apabila Subject mater dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri. 
3. Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. 
5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar. 
6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. 
7. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu. 
8. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. 9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting. 
10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu


sumber: media edukasi
21.56 | 0 komentar | Read More

ETIKA dalam Pendidikan Indonesia

Written By Unknown on Senin, 11 Maret 2013 | 19.01

Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini saya belum ingin mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik.
Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilaku-perilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan.
Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan di Bogor beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah?
Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.
Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan kepada peserta ajar.
Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri.
Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya.
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak - cucu kita.
“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)
19.01 | 0 komentar | Read More