Konsep SBI yang tidak jelas.
Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya / dikembangkan / diperluas / diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes / sertifikasi internasional. Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam. Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain. Selama ini siswa SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.
Penentuan kiblat ini perlu dipertimbangkan lagi karena jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan outputpendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatanterhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.
SBI adalah program yang salah model.
SBI hanya mengubah status sekolah yang ada.Seharusnya SBI itu berdiri sendiri jangan mengembangkan sekolah yang telah ada.Memang tidak bisa secara serta merta apabila suatu sekolah berdiri langsung dapat dijadika SBI tapi dilihat dari pantas atau tidaknya menurut alur pendidikan kita sekarang. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school).
SBI salah asumsi.
Kemampuan seseorang tidak ada yang sempurna.Kemampuan tenaga pengajar di SBI sebaiknya jangan hanya diukur melalui kemampuan pedagogisnya saja sehingga guru tidak maksimal menyampaikan pelajarannya kepada peserta didik.Untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL >500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic.
Telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik dan Penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep.
Dengan label SBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya.Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi bahasa Inggris, bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan.
SBI telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial. SBI dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan. SBI adalah sebuah pembohongan publik.
Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya). Banyak anak-anak yang notabene "CERDAS" namun dari keluarga kurang mampu gak bisa sekolah di sekolah2 "FAVORIT" (pada setiap kota) karena terbentur dengan masalah finansial orangtua mereka. Karena sekolah-sekolah favorit itu sudah jadi SBI. Karena sekolah favorit itu sudah BERANI minta DUIT ke orangtua murid.
Pihak DIKNAS dan sekolah yang menerapkan konsep sekolah macam ini (sekolah sok internasional) terkesan gak mengindahkan KONDISI tersebut dan yang pada akhirnya lagi-lagi adalah KAPITALISASI pendidikan di Indonesia. Dan lagi-lagi MATERI lah yang menjadi ORIENTAS.I
Alasan mereka adalah supaya anak Indonesia mempunyai daya saing dengan anak dari negara lain (baca: barat alah satu dampak sosial masyarakat dari pihak murid (peserta didik) adalah anak yang bisa bersekolah di SBI akan bersikap "SOMBONG" gak ketulungan terhadap anak2 yang hanya sekolah di sekolah "BIASA" atau reguler.
Supaya anak Indonesia gak ketinggalan (bidang teknologi informasi) dengan anak negara barat. Rakyat ekonomi bawah selalu saja menjadi korbannya!
Seharusnya pemerintah (Diknas) bisa membuat kebijakan yang lebih baik, Bukan kebijakan yang lagi- lagi NYONTEK kehidupan bangsa BARAT yang tak LAYAK sama sekali dicontoh dan dikuti. Dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’ menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam “bom waktu’. Banyak sekolah yang jelas-jelas hendak memberi persepsi kepada masyarakat bahwa sekolah mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan sekedar ‘rintisan’ lagi. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat.
SBI telah menyebabkan penyesatan pembelajaran.
Penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.
SBI telah menyesatkan tujuan pendidikan.
Pendekatan Cost Effectiveness adalah pendekatan yang menitikberatkan pemanfaatan biaya secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar-benar memberikan keuntungan yang relatif pasti, baik bagi penyelenggara maupun peserta didik. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di SBI, sebab SBI lebih menekankan efektivitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga input pun diambil dari anak-anak yang memiliki kemampuan unggul, baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial. Kesalahan konseptual SBI terutama pada penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik .Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai seorang yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga.
Judul: Analisis Filsafat Pendidikan terhadap kebijakan SBI ( sekolah bertaraf internasional)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis/ Disebarkan Oleh Unknown
Terimakasih atas kunjungan beserta kesediaan Anda membaca artikel ini. Anda dapat menyampaikan Kritik dan Saran melalui Kotak komentar di bawah ini.
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis/ Disebarkan Oleh Unknown
Terimakasih atas kunjungan beserta kesediaan Anda membaca artikel ini. Anda dapat menyampaikan Kritik dan Saran melalui Kotak komentar di bawah ini.